Jumat, 03 Oktober 2014

PEMATANGAN BUDAYA POLITIK LOKAL

Budaya politik biasanya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) perseorangan, yang merupakan dasar semua tingkah laku politik masyarakat. Sementara sistem nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat merupakan komponen penting bagi pembentukannya yang merupakan refleksi terhadap orientasi, sikap dan perilaku politik masyarakat dalam merespons setiap objek dan proses politik yang sedang berjalan.

Para ilmuwan politik yang sangat berperanan dalam mengembangkan teori kebudayaan politik, seperti Gabriel Almond, Sidney Verba dan Lucian W.Pye, hampir setengah abad yang lampau telah merintis sebuah riset tentang keterkaitan antara budaya dan politik. Mereka menyatakan bahwa setiap proses politik senantiasa terjadi dalam lingkup budaya. Artinya, dalam jangka waktu tertentu akan selalu terjadi proses dialektika antara kehidupan politik di satu pihak dengan sistem nilai budaya masyarakat di pihak lain.
Budaya politik sendiri merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem politik itu. Oleh karena itu, ia tidak lain dari orientasi psikologis terhadap objek sosial — dalam hal ini sistem politik — yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif (pemahaman dan keyakinan), afektif (ikatan emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian).
Budaya politik juga merupakan rangkaian kepercayaan, kebiasaan dan perilaku yang berkaitan dengan kehidupan politik. Ia pada hakikatnya merupakan lingkungan psikologis tempat kegiatan-kegiatan politik berlangsung yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima sejumlah milai dan norma lainnya.
Dalam derajat yang tertinggi, budaya politik umumnya akan dapat membentuk aspirasi, obsesi, preferensi dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh perubahan politik. Dengan sikap dan orientasi seperti itu, disertai dengan adanya determinan nilai-nilai keunggulan lokal (local genius) maka akan dapat dijumpai berbagai tipe budaya politik lokal yang berbeda-beda di berbagai daerah.

Tipologi dan Pematangan  
Apabila diikuti terminologi Almond dan Verba, maka dalam kehidupan masyarakat dapat dijumpai setidaknya tiga tipe budaya politik, yaitu masyarakat dengan budaya parokial, kawula, dan partisipan. Di dalam sebuah masyarakat di mana sikap dan orientasi politiknya sangat didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif maka akan membentuk budaya politik yang parokial. Masyarakat sama sekali tidak menyadari untuk apa mereka melakukan kegiatan politik. Kesadaran kognitif politiknya terbatas pada pengetahuan bahwa kekuasaan politik memang ada dalam masyarakat, dan keikutsertaannya lebih banyak karena mobilisasi, solidaritas atau ikut-ikutan.
Dalam sebuah masyarakat yang mempunyai kecenderungan sikap dan orientasi politik dengan karakteristik yang bersifat afektif, maka akan membentuk budaya politik yang bersifat kaula. Masyarakatnya cenderung bersifat nrimo karena merasa tak mampu mengubah sistem politik, sehingga tiada jalan lain baginya kecuali patuh, setia dan mengikuti segala instruksi serta anjuran pemimpin politiknya.
Sementara masyarakat yang sangat dominan memiliki kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang sedang berjalan, akan membentuk sebuah budaya politik yang partisipan. Masyarakat sudah mulai melibatkan diri secara intensif dalam berbagai kegiatan politik. Mereka bisa merupakan anggota aktif ormas atau parpol, atau anggota masyarakat biasa yang dapat menilai dengan penuh kesadaran baik sistem politik sebagai totalitas, masukan atau keluaran kebijakan pemerintah, maupun posisi dirinya sendiri dalam berpolitik.
Proses pematangan budaya politik, menurut Nazaruddin Sjamsuddin, pada dasarnya melibatkan tahap penyerasian antara budaya politik lokal dengan struktur politik nasional. Budaya politik lokal yang sudah kukuh — karena telah ada jauh sebelum masa kemerdekaan — akan diserasikan dengan struktur politik nasional yang baru tumbuh dan berkembang sejak kemerdekaan. Menurutnya, berbagai wujud budaya politik lokal yang ada pada dasarnya cukup mencerminkan bagaimana hubungan suatu daerah dengan pengaruh yang datang dari luar.
Budaya politik lokal yang ”berwarna keras” melahirkan daerah yang tertutup terhadap pengaruh nilai-nilai dari luar, sekalipun nilai-nilai tersebut belum tentu bertentangan dengan nilai-nilai yang telah ada. Sebaliknya, budaya politik lokal yang ”berwarna lunak” akan lebih bersifat terbuka, karena lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat yang mempunyai nilai yang berbeda.

Budaya Politik Demokratis
Budaya politik lokal sampai dengan saat ini diyakini masih bersifat parokial di satu pihak dan kawula di pihak lain. Sebagian besar masyarakat lokal masih jauh tertinggal dalam hak dan kewajiban politiknya akibat pengalaman politik masa lalu, seperti imperialisme, feodalisme dan patrimonialisme. Hanya sebagian kecil elite politik, dan masyarakat (perkotaan) — terbanyak di Jawa — yang sudah memiliki budaya partisipan, karena ditopang oleh kemampuan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi.
Tipe budaya politik parokial kaula ini berkecenderungan melahirkan kecenderungan sikap dan perilaku yang sangat militan ketimbang toleran. Dalam tingkat militansi yang tinggi, perbedaan tidak diarahkan pada usaha musyawarah untuk mufakat, tetapi (bahkan) dianggap sebagai pertentangan pendapat dan keyakinan. Masalah perbedaan sering ”dipribadikan” sehingga bersifat sangat sensitif, dapat membakar emosi dan menimbulkan konfrontasi.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, kalangan pemerintah dan wakil rakyat, baik di Pusat maupun Daerah, harus mengambil langkah-langkah strategis guna mewujudkan budaya politik demokratis/partisipan, yang mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis dan stabil. Kepentingan dan aspirasi rakyat harus menjadi pusat perhatian dalam pengambilan kebijakan pemerintah, sebab kalau tidak demikian rakyat akan mengalami deprivasi, sehingga menimbulkan kekecewaan.
Besar kemungkinan rakyat tidak memilih pemimpin yang dianggap tidak aspiratif dan responsibel. Sebaliknya, kalau rakyat merasa tidak berkompeten untuk terlibat dalam proses politik, maka implikasinya peranan pemerintah dalam penyelenggaraan negara menjadi sangat dominan. Pada kondisi demikian, rakyat hanya menjadi sasaran kebijakan pemerintah dan menjadi subjek yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah.
Dalam studi yang dilakukan oleh Almond dan Verba ditemukan bahwa negara-negara yang mempunyai budaya politik yang sudah matang akan menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki derajat budaya politik yang belum matang tidak mendukung terwujudnya demokrasi yang stabil. Kematangan budaya politik tersebut ditunjukkan dengan peluang yang diberikan oleh negara kepada masyarakat untuk mandiri, sehingga memiliki tingkat kompetensi yang tinggi.
Demokratisasi dan budaya politik demokratis hanya bisa diciptakan setelah melalui proses sosialisasi politik. Proses ini mewariskan berbagai nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya, lewat berbagai agen, seperti keluarga, teman sepergaulan, sekolah/perguruan tinggi, dan media massa yang menghasilkan individu mandiri. Walau demikian, demokratisasi yang kuat dan meluas serta perwujudan sistem politik yang demokratis dan stabil, tidak akan pernah muncul, bila budaya politik kita masih didominasi oleh pola hubungan yang bersifat hirarkis, patronage serta gejala neo-patrimonialisme.
Dalam wacana internasional, salah satu masalah utama dari politik berdimensi demokrasi baru (yang timbul di tengah gelombang transisi dari kekuasaan otoriter di Eropa Selatan dan Amerika Latin pada akhir tahun 1970an dan 1998-an) adalah bahwa para aktor dominan nyata-nyata mengabaikan atau menolak perangkat-perangkat demokrasi. Latar belakangnya adalah selama masa transisi tersebut para elite politik menekankan pada pembuatan pakta-pakta dan lembaga-lembaga.
Gagasan fundamentalnya adalah tekanan internasional akan membantu memfasilitasi sebuah langkah kompromi dimana kekuatan rakyat akan dikendalikan, sementara para kapitalis otoriter, para birokrat dan para pejabat akan dapat mempertahankan aset-aset mereka — berdasarkan asumsi bahwa mereka menerima pembentukan lembaga-lembaga yang mendukung HAM, tata pemerintahan yang baik (good governance), pemilu yang bebas dan jujur, dan sebuah masyarakat sipil yang mandiri. Lembaga-lembaga tersebut nantinya akan membentuk demokrasi liberal.
Maka dari itu, argumentasi kritis yang semakin umum adalah bahwa ketika para aktor politik dan ekonomi yang sebelumnya dominan (seperti para elite papan atas Orde Baru di Indonesia) telah menyerahkan posisi-posisi politik formal mereka dan menyetujui pemilu yang bebas dan jujur dan beberapa hak liberal, mereka tetap menguasai aset-aset perangkat-perangkat baru demokrasi. Banyak keputusan-keputusan penting justru dibuat didalam ekonomi yang semakin diwarnai privatisasi dan terglobalisasi serta dalam berbagai lembaga publik yang semakin menjadi informal; misalnya, dalam dewan direksi perusahaan, IMF, di The Rotary Club, keamanan swasta, sistem penanganan kesehatan yang telah disubkontrak-kan, atau melalui kegiatan berjaringan dan lobby. Apalagi proses revisi UU No. 22 Tentang otonomi Daerah menjadi UU Otda No. 32 sekarang yang masih menimbulkan pro kontra, multi tafsir atas dasar kepentingan politik dengan argumentasi proses sentralisasi dan desentralisasi kekuasaan.
Untuk memperoleh sejauhmana tentang demokrasi telah terkonsolidasi, adalah relevan untuk mengimplementasikan ‘pengujian’ Linz dan Stepan (1996) yang mempertanyakan apakah demokrasi benar-benar telah menjadi ‘aturan main utama’ (the only game in town). Benar bahwa sebagian besar informan mengatakan politik secara keseluruhan tidak terbebas dari kekuatan-kekuatan asing, termasuk bisnis internasional dan Dana Monoter Internasional (IMF), dan masalah tersebut semakin bertambah. Hal ini jangan sampai diabaikan. Dapat dikatakan bahwa sebagian dari terbatasnya kinerja dan cakupan hak-hak dan lembaga-lembaga berhubungan dengan adanya subordinasi ini. Tapi, apapun jalan yang ditempuh para aktor, dan apapun anggapan para informan mengenai para aktor dan kontak-kontak internasional sebagai aktor politik dominan, kenyataannya sebagian besar tetap menggunakan permainan politik yang lazim dan para aparat negara.
Dalam konteks itu, untuk mereduksi upaya hegemoni-monopoli dan transformasi politik liberalis baik dalam tataran pemerintahan pusat maupun lokal harus di antisipasi secara intelektual dan progresif. Sebagai upaya untuk menemukan solusi serta tawaran-tawaran kritis, argumentatif, intelektual maka diperlukan format baru untuk membangun serta mengembangkan wacana tentang pentingnya reinternalisasi kearifan politik berdimensi lokal. Politik dengan kearifan lokal tentu tidak dipisahkan dari tradisi dan budaya-budaya bangsa.
Dengan konsep politik kearifan dan kebijaksanaan lokal, maka upaya untuk membongkar hubungan antara pemain politik sesuai aturan konstitusional dan yang menelikung serta menyalahgunakan aturan, kita harus tahu bagaimana proses terciptanya hubungan tersebut. Maka sebuah kesimpulan sementara bisa dipastikan bahwa sejalan dengan argumentasi umum mengenai dinamika monopolisasi demokrasi yang berakar pada simbiosis antara kapitalisme maju dan akumulasi modal primitif biasanya melalui negara dan politik.
Berkaca pada eksperimen-eksperimen internasional — yang terkini adalah negara-negara Amerika Latin seperti Brazil — satu-satunya gagasan realistis dan bermanfaat merujuk pada de-monopolisasi dan regulasi demokrasi, di luar neo-liberalisme dan statisme. Gagasannya adalah pakta-pakta yang difasilitasi secara demokratis pada tingkat pusat dan lokal antara bisnis berorientasi pertumbuhan, kelas menengah berorientasi profesional di sektor dan informal, dan masyarakat buruh terorganisasi di sektor formal dan informal, pada gilirannya akan mendapatkan hak-hak dan kebutuhan dasar. Oleh karena itu, aktor dominan tidak ada dan hancur, dengan partai-partai yang berorientasi pada kekuasaan dan mesin-mesin politik yang dapat mengalahkan pemilihan yang berorientasi pada kultus individu.
Dalam konteks itu, konsep paradigma berorientasi pada penguatan wacana dan mengembangkan kearifan politik lokal menjadi suatu keharusan setiap aktor-aktor politik anak bangsa baik ditingkat lokal maupun pusat. Kearifan politik lokal yang dimaksudkan adalah membangun etika politik yang berdimensi pada agama dan budaya-budaya bangsa. Budaya bangsa yang tetap pada komitmen moral. Perspektif ke depan untuk membangun kearifan politik lokal akan menjadi agenda besar bangsa Indonesia..
Yulius Ndakadjawal
https://www.facebook.com/yulius.ndakadjawal/notes
 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARS

Mahasiswa Kristen semua Ikutlah GMKI

Gerakan kita Tuhan yang serta Padanya kita berbakti

Agar bawa terang cintaNya Dalam dunia mahasiswa

Biar mereka terima padaNya Dan hidup berbahagia

Ref : Hai dengarlah suaraNya Memanggil kamu

Ikutlah menangkan jiwa Bagi Juru S’lamatmu

Kristuslah yang pimpin agar semua satu adanya

UT OMNES UNUM SINT, Itulah amsal kita

SESUATU YANG BERHARGA